Minda Mujaddid

04 May, 2006

MULIA MENGIKUT PANDANGAN TUHAN

MULIA MENGIKUT PANDANGAN TUHAN
03/05/2006

Saidina Umar pernah berkata, lebih kurang begini: “Kami orang-orang Arab telah dimuliakan Tuhan dengan sebab Islam.”

Apa yang hendak diperkatakan adalah apa itu erti mulia. Apakah erti mulia menurut pandangan Tuhan. Sebab maksud mulia ini kalau kita rujukan pada manusia macam-macamlah jawaban. Kebanyakannya bersifat dunia. Orang ramai akan mengatakan kemuliaan itu dirujuk pada kuasa, jawatan, ilmu yang tinggi. Apa erti mulia itu sebenarnya mengikut pandangan Tuhan?

Mulia ini, dia ada hubungan dengan status hidup manusia. Status itulah bagaimana manusia hendak gunakan apakah menjadi orang mulia atau menjadi orang hina. Manusia ini tak sama statusnya, kedudukannya. Ada yang jadi raja, berkuasa, berilmu ada yang pandai, kaya, miskin, ternama, susah, senang, dan lain-lain. Tentulah Saidina Umar bila berkata orang arab dimuliakan Tuhan karena Islam, tentu Saidina Umar nampak waktu itu orang Arab ada berbagai status. Yang berbagai status itu Saidina Umar anggap Tuhan muliakan dengan sebab Islam. Islam satu. Status banyak.

Bagaimana Saidina Umar menilai orang Arab? Waktu itukan mereka berbagai-bagai status ada yang jadi pemimpin, pengikut, kaya, miskin, terkenal, tak terkenal. Tapi Saidina Umar sebut : mulia. Mereka yang berbagai satus itu mulia dengan Islam, atau mulia dengan Tuhan.

Bagaimana orang yang berbagai status itu mulia menurut ukuran Tuhan. Pada zaman sekarang ini termasuk di kalangan umat Islam yang sudah rusak, bahkan ulama yang sudah rusak ini, kemuliaan itu diukur berdasarkan status. Kalau dia jadi raja mulialah dia. Kalau dia jadi pemerintah mulialah orang itu. Siapa yang kaya, mulialah orang itu. Siapa yang ilmunya tinggi orang akan anggap mulainya orang itu. Jadi kemuliaan itu orang rujuk pada status sedangkan status itu ukuran dunia. Kalau tinggi dunianya tinggilah dia, kalau rendah dunianya rendahlah dia. Ulama pun kalau ditanya begitulah dia mengukur. Sebab itu di dunia hari ini orang dididik supaya mengejar status yang tinggi. Sebab mereka anggap status dunia yang tinggi itu mulia. Kalau status dunianya rendah maka rendahlah kemuliaannya atau dianggap tidak mulia. Ini satu kesalahan besar. Sebab kalau diukur pada status dunia, yang status dunianya rendah dia dianggap tak mulia, sedangkan di dunia yang status rendah itu yang banyak yang berstatus tinggi itu sedikit saja. Lalu yang banyak mau jadi apa?

Tuhan menilai mulianya seseorang bukan dilihat status dunia tapi sejauh mana dia mengamalkan ajaran Tuhan. Seorang raja atau pemerintah : bukan karena dia jadi raja, pemerintah, pemimpin, tapi mulianya seorang raja, pemerintah, pemimpin mulianya ialah kalau dia boleh tunduk dan patuh kepada Tuhan, boleh kenalkan Tuhan pada orang ramai. Dengan status tinggi dia merendah diri, tawadhuk, adil. Itulah letak kemuliaannya. Kalau status itu disalah guna, dia zalim, sombong, angkuh, megah. Dia ambil kesempatan di atas status itu maka pada pandangan Allah, dia itu hina.

Begitulah orang kaya, kekayaannya itu bukan dengan itu dia jadi mulia tapi mulianya orang kaya adalah pemurah, membantu orang, disamping dia beriman dengan Tuhan, dia pemurah, dia merendah diri, dia tak megah, inilah kemuliaan orang kaya.

Kemuliaan orang berilmu bukan karena ilmunya. Katalah seorang ulama, banyak ilmunya, tapi dia tawadhuk, memimpin umat, mempromosi Tuhan hingga orang ramai sampai takut dan cintakan Tuhan. Inilah kemuliaan ulama. Jadi bukan pada ilmunya.

Seorang yang miskin tentu orang anggap hina. Orang anggap tak mulia. Tapi sebenarnya, orang miskin juga dapat kemuliaan di sisi Tuhan sepertimana ulama, pemimpin, orang kaya, kalau dia beriman pada Tuhan, sabar. Dia miskin tapi tak terasa terhina, tak tipu orang, tak kelentong orang, tak curi barang-barang orang. itu kemulian orang miskin. Miskin bukan masalah, bukan kehinaan. Tak salah jadi orang miskin dengan syarat sabar, tak rasa hina beriman kepada Tuhan.
Bahkan secara tersirat, mungkin dia lebih mulia daripada orang yang statusnya lebih tinggi dari dia. Ada hadis menyebut, kalau seseorg itu bertaqwa kepada Tuhan, berusaha mati-matian mencari rezeki tak kaya-kaya, tak senang-senang, berhadapan dengan kesusahan pahalanya jihad fi sabilillah. Tak mulia ke? Tak pergi perang, tak pergi berjuang, tak dibunuh tak membunuh, sekadar mencari rezeki yang halal itu saja mendapat jihad fi sabilillah. Pahala ini begitu tinggi, begitu mulia disisi Tuhan.

Hujah lain : hadist ada sebut: seorang miskin yang beriman dengan Tuhan oleh karena susahnya kadang-kadang ada makanan yang dia minat, ingin sangat makanan, cicir air liur, tapi mau beli tak ada duit. Di restoren nampak orang makan, dia ingin sangat makan tapi tak dapat, maka kata Allah dalam hadist: orang ini diampunkan dosa-dosanya. Diampunkan dosa-dosa itu mulialah. Kadang-kadang orang yang status dunianya rendah lebih senang dapat kemuliaan di sisi Tuhan dari orang yang statusnya tinggi.

Baru kita faham bahawa kemuliaan itu bukan diukur dari status dunia tapi sejauh mana dia beriman dan mengamalkan ajaran Tuhan.

Tapi di sudut lain, katalah Orang miskin tawadhuk dapat pahala juga tapi tak besar. Sebab dia miskin. Tapi Kalau jadi raja tawadhuk dapat pahala besar, sebab susah hendak tawadhuk. Walaupun Tuhan perintahkan semua orang tawadhuk, tawadhuk raja dan tawadhuk orang miskin tak sama markah, sebab sebagai raja susah untuk tawadhuk. Begitu juga pemurah. Orang miskin pemurah mungkin ada maksud-maksud lain supaya orang tolong dia waktu dia susah. Tapi kalau orang kaya pemurah besar nilainya di sisi Tuhan. Kalau orang miskin bakhil, salah juga tapi tak besar sangat. Kalau orang kaya bakhil, besar sangat salahnya. Itulah diantara keadilan Tuhan.

Macam ulama, kalau dia merendah diri, tawadhuk, memberi nasehat orang, menyampaikan risalah Tuhan, memperkenalkan Tuhan, besar pahalanya, besar kemuliaannya di sisi Tuhan. Tapi kalau selain orang alim pahala juga, tapi tak sebesar orang alim. Dia tengok kedudukan. Kalau orang itu kedudukannya susah untuk buat suatu kebaikan, susah untuk merendah diri, tapi dia buat juga, maka besar nilainya di sisi Tuhan.

Kalau orang biasa boleh merendah diri, pemurah, tawadhuk pahala juga, tapi tak sebesar orang yang dengan statusnya lebih susah untuk buat perkara itu. Raja dengan orang awam mana lebih susah untuk merendah diri? Tentu Raja. Kalau raja boleh merendah diri itu kemuliaan dia. Orang susah, susah nak sabar. Orang senang lebih mudah sabar. Kalau orang susah boleh sabar dengan kesusahan, inilah kemuliaan dia di sisi Tuhan daripada orang kaya atau orang besar-besar sabar.

Kalau orang miskin berlaku adil pahala juga, tapi lebih mudah dari orang besar berlaku adil. Ada hadis, kalau pemerintah itu satu saat boleh berlaku adil, lebih besar pahalanya dari abid ibadah 70 tahun. Sebab orang yang memerintah itu untuk adil susah. Karena kuasa ada di tangan untuk rasuah, tangkap orang, dia boleh buat. Tapi kalau dalam keadaan itu dia boleh berlaku adil, satu saat saja pahalanya lebih dari ibadah abid 70 tahun.

Selepas orang beriman, kemuliaan seseorang itu tak sama, mengikut keadaan. kemuliaan pemimpin tak sama dengan rakyat, kemuliaan orang miskin dengan kemuliaan orang kaya, kemuliaan orang jahil tak sama dengan kemuliaan orang kaya.

Sebab itu Saidina Umar kata kami orang arab dimuliakan Tuhan karena Islam. Artinya semua orang Arab yang berbagai status itu dapat kemuliaan dari Tuhan asal dia beriman & dapat buat kebaikan di kedudukan masing-masing. Jadi kemuliaan itu bukan keraa status di dunia. Ia beriman atau tidak? Kalau beriman bagaimana dia guna status itu, ikut syariat atau tak? Kalau semua guna ikut syariat, semuanya mulia di sisi Tuhan. Inilah keadilan Tuhan.